Khotbah Idul Fitri - Berlebaran Dengan Rendah Hati

ceramah

الله أكبر - الله أكبر - الله أكبر - الله أكبر - الله أكبر - الله أكبر - الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَ سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَ أَصِيْلًا , الْحَمْدُ للهِ الَّذِى سَهَّلَ لِـعِبَادِهِ الْعِبَادَةَ وَ يَسَّرَ , وَ وَفَّاهُمْ أُجُوْرَ أَعْمَالِهِمْ مِنْ خَزَآئِنِ جُوْدِهِ الَّذِى لَا تُحْصَرُ , وَجَعَلَ لَهُمْ يَوْمَ عِيْدٍ يَعُوْدُ عَلَيْهِمْ فِى كُلِّ سَنَةٍ وَ يَتَكَرَّرُ , وَأَشْهَدُ أَنْ لَاإِلـهَ إِلَّااللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ الْمُلْكُ الْعَظِيْمُ الْأَكْبَرُ , وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ الْمُشَفَّعُ فِى الْمَحْشَرِ , اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ أَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَ طَهَّرَ , وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا . أَمَّا بَعْدُ : فَـيَا عِبَادَ اللهِ , اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَاتَمُوْتُنَّ إِلَّاوَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ . وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ , وَأُولَئكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ . اِعْلَمُوْا أَنَّ هـذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ , يَوْمٌ بَعْدَ خُرُوْجِنَا مِنْ الشَّهْرِ الْكَرِيْمِ اِلَى يَوْمِ عِيْدٍ سَعِيْدٍ , يَوْمٌ تَجَلَّى الْبَوَاطِنُ بِـتَقْوَى اللهِ وَ تَخَلَّى الظَّوَاهِرُ عَنْ عَمَلِ مَا لَا يُفِيْدُ , يَوْمٌ تَجَلَّى الْحَـنَّانُ الْمَنَّانُ بِمَزِيْدِ الْإِحْسَانِ عَلَى مَنْ كَانَ ذَا فِعْلٍ حَمِيْدٍ .

Ma’asyiral Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …

Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya tak berbatas dan tak terbilang jumlahnya. Sehingga di suasana yang syahdu ini kita semua kaum muslimin dapat menghadiri perayaan kemenangan akbar dan sekaligus menunaikan ibadah yang sangat dianjurkan oleh agama kita melalui Nabi Mulia Muhammad SAW yaitu ibadah Shalat Iedul Fitri. Diiringi takbir, tahmid dan tahlil, kita berharap Allah menerima amalan-amalan kita terkhusus di bulan Ramadhan yang baru saja kita tinggalkan. Amin yaa Robbal ‘Alamin.

Shalawat dan salam tidak terlupa kita lantunkan dengan sebanyak-banyaknya, dengan sekhidmat-khidmatnya, dengan setulus-tulusnya, teruntuk habiibillah Sang Kekasih Allah SWT, junjungan dan tauladan terindah kita, Baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan shahabat-shahabatnya. Satu-satunya makhluk termulia di antara semua makhluk. Satu-satunya sosok teristimewa di antara hamba-hamba Allah yang teristimewa. Satu-satunya yang terpilih di antara hamba-hamba Allah yang terpilih. Bahkan, satu-satunya makhluk yang tanpanya tidak tercipta semua kehidupan di dunia, dan bahkan seluruh alam. Semoga kita akan mendapat syafaatnya di yaumil qiyamah nanti. Amin yaa robbal ‘aalamiin …

الله أكبر - الله أكبر - الله أكبر و للهِ الْحَــمْدُ

Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …

Pada hari ini, di pagi yang penuh barokah ini, berbagai perasaan bergejolak di dalam setiap dada kaum muslimin. Mereka berangkat dari rumah masing-masing menuju masjid atau lapangan --sambil bertakbir mengagungkan nama Allah, bertahmid memuji-Nya dengan sebaik-baik pujian, dan bertahlil menanamkan sifat esa-Nya ke dalam relung hati yang terdalam-- untuk melaksanakan salah satu ibadah yang disyari’atkan sekali dalam setahun, yaitu shalat Idul Fitri. Kita sebagai bagian dari mereka juga tidak ketinggalan. Rasa gembira dan bahagia begitu nampak dan ditampilkan dengan berbagai ekspresi. Sehingga kehadiran hari sarat makna ini menjadi semakin semarak. Ada yang mengenakan kopiah baru, sarung baru, sajadah baru. Baju koko yang biasanya lusuh, kini terlihat rapih dan bersih. Yang biasanya berangkat ke masjid tidak membawa surban, kini mengenakan surban yang diselempangkan dengan berbagai cara menurut kesenangan masing-masing. Anak-anak tampil dengan baju-baju yang lebih cerah dan bahkan baru, seiring senyum mereka yang juga seolah-olah baru.

Memang tidak dipersoalkan memakai pakaian baru selagi tidak termasuk dalam pemborosan dan berlebih-lebihan. Pakaian baru hanyalah simbol-lahiriah dari kebahagian yang dirasakan hati. Intinya adalah kualitas hati dimana iman dan taqwa berada. Iman dan taqwa juga harus meningkat seiring dengan berlalunya bulan Ramadhan.

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْد , وَلكِنَّ الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ .
“Iid bukanlah bagi orang yang mengenakan pakaian baru, tetapi Iid adalah bagi orang yang taqwanya bertambah”
Lebih dari itu, perasaan bahagia ini juga tampak karena kita telah diberikan kesempatan istimewa di bulan Ramadhana dan dapat merampungkan serentetan amaliyah ubudiyyah selama di bulan yang suci dan penuh berkah ini. Bulan Ramadhan merupakan bulan yang di setiap harinya, bahkan di setiap saatnya mengalir rahmat Allah SWT, di setiap detiknya terdapat keberkahan-keberkahan atas setiap amal yang dikerjakan oleh para hamba. Siang ataupun malam, pagi ataupun sore, tercurah berlipat-lipat kebaikan yang tidak terdapat pada bulan-bulan sebelumnya. Pahala dilipat-gandakan, ditambah dengan satu malam teristimewa yakni malam al Qodr. Sekarang, kita telah dipertemukan dengan hari Raya Iedul Fitri, hari raya kemenangan kita kaum muslimin.

Seiring kegembiraan dan kebahagiaan tersebut, kita-pun merasakan kecemasan, jangan-jangan sebenarnya kita telah melewatkan saat-saat terbaik itu dengan kesia-siaan. Jangan-jangan kita telah mengabaikan kesempatan berharga di setiap detik-detik teristimewa untuk mendulang bertumpuk-tumpuk pahala dan ganjaran. Jangan-jangan kita telah melepaskan peluang terraihnya keridhoan Sang Maha Rahman karena kebodohan dan kelalaian. Belum lagi puasa kita yang tidak pernah sepi dari mencaci orang, lisan yang acap-kali terhias dengan tuak dan kebohongan, mata yang seringkali sengaja digunakan untuk memandang hal-hal yang dilarang. Padahal kita pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah haditsnya ;

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ .
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan buruk, maka Alloh tidak mempunyai keperluan lagi terhadap amalnya tidak makan dan tidak minumnya (puasanya)".
Shalat kitapun tidak pernah penuh dengan keikhlasan dan kekhusyu’an, tilawah al-quran yang tidak pernah lepas dari kesalahan bacaan, shodaqoh yang senantiasa didampingi rasa riya’ dan diiringi kebanggaan, perut yang di saat berbuka seringkali terisi penuh dengan makanan dan minuman yang beraneka ragam, bahkan fikiran yang tidak jarang terselip berbagai macam keinginan-keinginan yang penuh dengan kemaksiatan dan kedurhakaan, fikiran yang kerap kali penuh dengan syahwat-syahwat atau keinginan-keinginan hawa nafsu duniawiyah. Maka, sudah selayaknya kita bertanya dalam diri kita masing-masing, apakah kita telah lulus dalam tarbiyah Ramadhan kita kali ini? Apakah kita optimis dan yakin telah mendapatkan ampunan dari Allah setelah Ramadhan ini? Apakah kita optimis telah berhak terbebas dari siksa neraka setelah mengarungi bulan barokah ini? dan Apakah kita yakin telah terhitung sebagai orang-orang yang bertaqwa sehingga berhak mendapat piala “Iedul Fithri” pada pagi hari ini? Piala “Iedul Fitri” ibarat sebuah hadiah dari Allah SWT yang menjadi pertanda kembalinya sang pemenang kepada fithrah dan kebersihan dirinya, lahir dan batin. Sebuah piala yang menjadi ciri bahwa amal sholeh yang dikerjakan pemenangnya selama ini diterima oleh Allah SWT. Sebuah piala yang dengannya sang pemenang akan menapaki jalan hidup baru yang penuh dengan cahaya Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sebuah piala yang dengannya, sang pemenang akan ringan melangkah dalam meninggikan kalimat Allah di jagad fana dan gersang ini.

Maka, pada saat ini-pun, kita bermuhasabah diri, koreksi dan instropeksi diri, lalu memohon ampunan dan keridhoaan-Nya. Sebab, secara nyata memang kita telah beramal, tapi Allah-lah yang memiliki hak untuk menilai kualitas amal tersebut, akan diterima atau tidak amalan kita. Jangan sampai kita berfikir bahwa semua amal kita pasti diterima oleh Alloh SWT, pasti tidak tertolak, pasti mendatangkan barokah dan pahala. Berfikirlah: yakin diterima oleh Allah SWT, yakin tidak tertolak, yakin mendatangkan barokah dan pahala. Optimis dalam beramal dan berdoa adalah keharusan, tetapi hak mutlak penerimaan amalan hamba adalah milik Allah SWT. Di antara tanda kesengsaraan seorang hamba termaktub dalam sebuah hadits, yaitu:

نِسْيَانُ الذُّنُوْبِ الْمَاضِيَةِ وَهِيَ عِنْدَ اللهِ مَحْفُوْظَةٌ , وَ ذِكْرُ الْحَسَنَاتِ الْمَاضِيَةِ وَ لَا يَدْرِى أَ قُبِلَتْ أَمْ رُدَّتْ
“Melupakan dosa di masa silam padahal dosa-dosa tersebut terjaga di sisi Allah SWT. Menyebut-nyebut atau mengingat-ingat kebaikan di masa lalu padahal ia tidak tahu apakah amal itu diterima atau ditolak.”
Kita berdo’a dan berharap kepada Allah agar kita yang hadir di majlis ini, dan saudara-saudara muslim kita yang ada di seluruh penjuru dunia ini, termasuk dalam kelompok yang memenangkan tarbiyyah dan ujian Ramadhan ini. Dan semoga kita diberikan kesempatan kembali oleh Allah SWT untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadhan yang akan datang dengan amalan yang lebih baik. Insya Allah, Amin yaa Robbal ‘Aalamiin…

الله أكبر - الله أكبر - الله أكبر و للهِ الْحَــمْدُ

Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …

Setelah kita membersihkan hati kita dari penyakit-penyakitnya pada bulan Sya’ban yang telah lewat. Lalu pada bulan Ramadhan kemarin kita telah berusaha menerangai hati kita dengan cahaya iman dan amal sholeh. Maka pada hari ini, dengan rahmat Allah, insya Allah kita telah menjadi sosok-sosok baru dan bersih. Meskipun demikian, tentu saja hal ini tidak boleh menjadikan kita terlena dan merasa suci. Sejujurnya, meskipun kita telah berpuasa sebulan penuh di siang hari Ramadhan yang lalu, telah mengerjakan shalat Tarawih berjamaah di malamnya tanpa tertinggal semalampun, telah mengkhatamkan al-Quran, telah berinfak dan bershodaqoh di setiap malamnya. Dari hati dan sanubari yang paling dalam, kita harus mengakui bahwa kita masih bisa merasakan noda-noda dosa kita terhadap sesama kita. Noda dan kesalahan yang belum sempat kita pintakan “pintu maaf”nya kepada orang-orang di sekitar kita yang kita sakiti dan kita lukai hatinya, dan belum termaafkan.

Mungkin terhadap anak-anak mungil kita yang merupakan buah mata kesayangan kita. Keaktifannya justru sering kita fahami sebagai sebuah kenakalan, kreatifitasnya justru kita katakan sebagai sesuatu yang keterlaluan, daya eksploratif mereka malah kita sebut sebagai hal yang berlebihan dan keterlaluan. Sehingga kita berfikir mereka berhak mendapatkan sangsi dari kita. Sadar ataupun tidak, kemudian kita memberikan hukuman kepada mereka, dalam wujud dan bentuk yang beraneka macam. Suatu hukuman yang justru menjadi titik hitam dalam hati. Seiring dengan bertambahnya hukuman, titik itu semakin menebal dan terus menebal, dan kitalah yang justru membuatnya. Kita patut merenungkan, mungkin anak-anak kita belum tahu apa itu “kasih sayang?”. Mereka hanya tahu bahwa mereka ingin selalu dekat di samping kita ayah ibu mereka, mereka hanya tahu kalau mereka hanya ingin dibelai saat mereka menangis, butuh hanya usapan lembut saat mereka mengalami sedih karena kehilangan mainan mereka, dan mereka merasa ingin diperhatikan atau disanjung terhadap apapun yang telah mereka kerjakan. Itulah cara mereka mengungkapkan rasa “kasih sayang’ mereka terhadap kita, meski mereka tidak tahu apa itu “kasih sayang”. Itulah cara mereka mengasihi kita sebagai sosok terdekat mereka.

Bagaimana dengan kita para orang tua? Bagaimana cara kita mengungkapkan rasa sayang terhadap mereka? Seringkali kita katakan bahwa hukuman itu adalah bentuk kasih sayang kita. Padahal mereka belum tentu tahu tentang apa itu “hukuman”? Bahkan mungkin mereka tidak mengerti kalau apa yang kita lakukan adalah sebuah “hukuman”. Mereka hanya bisa merasakan rasa sakit ketika dipukul sambil kebingungan dan menangis, “kenapa aku dimarahi?”, kenapa aku dipukul?”, “Kenapa ayah ibuku marah?”, Apakah aku tidak menyenangkan hati ayah ibuku?”. Meski menangis, tapi mereka tidak bisa lari. Bukannya mereka tidak bisa berlari karena kaki mereka lumpuh, tapi mereka memang tidak ingin lari, bahkan mereka justru ingin memeluk dan merangkul ayah bunda mereka. Mereka mungkin berfikir, kalau mereka jauh dari ayah bunda mereka, siapa yang akan memeluk mereka dengan hangat? Siapa yang akan membelai mereka dengan lembut saat mereka sedih hati? Siapa yang akan melindungi mereka saat teman mereka nakal? Siapa yang akan membersihkan tubuh mereka ketika berlumuran lumpur? Siapa yang akan menyisiri rambut mereka setelah mandi? Mereka tidak akan pergi dari kita, sebab kita adalah sosok terdekat bagi mereka, yang paling mereka sayangi dan mereka rindukan. Ditinjau dari sudut manapun, kita harus akui bahwa masih ada di antara kita yang belum berlaku lembut terhadap anak-anak kita, kita belum santun dalam mensikapi prilaku mereka. Dan itu belum termaafkan. Bagaimana akan termaafkan jika kita tidak melisankan permintaan maaf kita? Ataukah kita masih ingin mempertahankan ego kita karena kita merasa lebih berusia dibandingkan mereka? Sehingga kita malu, enggan, dan gengsi untuk mengakui kekhilafan kita di hadapan mereka? Na’uudzu billah min dzalik…

الله أكبر - الله أكبر - الله أكبر و للهِ الْحَــمْدُ

Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …

Suami atau istri kita, mereka juga merupakan sosok yang terdekat dengan kehidupan kita. Ia merupakan sosok yang bersedia mendampingi kita selama hidup, sampai ajal menjemput. Senang-susah, suka-duka, pahit-manis, lapang-sempit, dan berbagai situasi dan kondisi lain. Tapi sekali lagi harus kita akui, justru merekalah yang barangkali paling banyak kita sakiti dan kita lukai hatinya. Hak-hak mereka kerap kali kita kurangi, bahkan tidak kita berikan. Saling pengertian dan saling memahami untuk mengarungi kehidupan yang ia harapkan dapat bersama-sama dilakukan, justru kita yang lebih sering menuntutnya tanpa kita berusaha turut berusaha mewujudkannya.

Terhadap orang lain kita selalu menjaga tutur sapa kita, kita rela mengurangi hak kita, kita berusaha sekuat tenaga agar hubungan dan keakraban selalu terjaga hangat, segera meminta maaf jika kita melakukan kekhilafan, semua itu agar hubungan kita dengan teman kita tetap terjalin harmonis dan hangat. Sebaliknya, kita seringkali meremehkan terjaganya keharmonisan dan kehangatan pergaulan dalam rumah tangga kita. Kita begitu cuek setelah mencaci dan mengucapkan kata-kata pedas, begitu gampang menimpakan kesalahan, begitu ringan membebankan sesuatu yang kita tahu pasti berat untuk dia, begitu tak acuh saat ia mengeluh sakit. Jangankan mengelap badannya dengan air hangat suam-suam kuku --karena beberapa hari tidak bisa mandi sendiri, langkah masih tertatih-tatih-pun sudah kita sodorkan berbagai perintah dan keinginan. Ketika ditanya oleh tetangganya, apakah engkau menyayangi istrimu --atau suamimu? Dengan entengnya kita menjawab, “tentu saja, ia adalah belahan jiwaku, tidak bisa aku hidup tanpa dia”, dan jawaban-jawaban lainnya yang jika terdengar olehnya pasti akan menyesakkan dada. Mungkin ia hanya bisa berucap dengan suara lirih seiring tetesan air mata kesedihannya, “Mengapa engkau berkata begitu? Mengapa engkau mampu berbuat demikian? Apakah hanya kekurangan yang aku punya? Apakah tidak ada kebaikan sedikitpun dalam diriku?” Rintihan yang mungkin tidak pernah kita dengar, yang tidak pernah terasa oleh kita, sebab ia begitu pandai menutupi keadaan hatinya. Ia tetap tersenyum di hadapan teman dan rekan kita demi menjaga kehormatan dan harga diri kita dan keluarga. Bahkan terhadap kita sekalipun, ia tetap senyum.

Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …

Ibu dan Ayah. Keduanya adalah orang tua yang melahirkan kita. Kewajiban berbakti dan berbuat baik terhadap mereka tersebutkan sangat jelas dalam al Qur’an. Allah berfirman dalam Surat Luqman ayat 14, yang artinya
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) terhadap kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tanhun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku kembalimu”. (QS. Luqman : 14).
Dalam surat al-Isro’ ayat 23 juga disebutkan :
“Dan Robbmu telah memerintahkanmu supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang dari keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya “ah”, dan janganlah kamu menghardik mereka, dan ucapkanlah kepada mereka ucapan yang mulia”. (QS : al Isro’ : 23)
Allah SWT menempatkan berbakti terhadap orang tua setelah larangan berbuat syirik atau menyekutukan Allah yang merupakan larangan terberat dan yang paling harus dijaga oleh seluruh ummat Islam. Ini menunjukkan bahwa berbakti terhadap orang tua merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar. Selalu berbuat baik terhadap keduanya adalah urusan yang paling utama. Menghormati keduanya merupakan harga mati bagi kita. Selalu tersenyum kepada keduanya dan selalu membuat mereka tersenyum adalah tugas utama. Bagaimanapun situasi dan kondisinya, kita wajib berbuat baik dan berprilaku mulia terhadap keduanya. Bahkan jika seandainya mereka kafir-pun, kita wajib berprilaku mulia terhadap mereka.

Ketika keduanya atau salah satu dari keduanya masih hidup, mereka adalah yang paling berhak untuk kita jaga silaturrahmi dengan keduanya. Berucap “ah” kepada keduanya atau salah satu dari keduanya sudah merupakan larangan, apalagi menghardik atau membentaknya. Jika keduanya telah meninggal dunia, kita mengutamakan tersambungnya silaturrahmi dengan orang-orang yang mereka sayangi semasa hidup mereka, kitapun wajib mendoakan keduanya sebab doa anak sholeh dapat mengangkat derajat kedua orang tuanya di akherat kelak.

Peran dan jasa kedua ibu-bapak kita terhadap kita tidak akan pernah bisa terbalas, bagaimanapun upaya kita. Rasulullah SAW bersabda :

لَا يَجْزِىْ وَلَدٌ وَالِدً إِلَّا أَنْ يَجِدَهُ مَمْلُوْكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ ( رَوَاهُ مُسْلِمْ )
“Seorang anak tidak akan mampu membalas jasa kedua orang tuanya, kecuali ia mendapatinya menjadi seorang budak lalu ia membelinya dan memerdekakannya”. (HR. Muslim).
Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …

Marilah kita jenguk diri dan hati kita masing-masing, jenguk sedalam-dalamnya, renungkan apa yang telah dan sudah kita lakukan dan suguhkan untuk mereka. Apakah kita telah bisa membuat mereka nyaman dan aman? Atau justru mereka tidak aman di sisi kita? Apakah kita yang bekerja untuk mereka di usia senjanya atau justru sebaliknya mereka yang kita tuntut untuk mencukupi kita? Apakah kita yang meringankan beban mereka di usia senja ataukah kita yang justru membebani mereka?

Di antara kita mungkin ada yang mendapati ayah-ibu yang sudah dalam kondisi payah, berusia lanjut dan tak berdaya, atau mungkin hanya tinggal ayah saja, atau mungkin hanya tinggal ibu saja. Ketahuilah, mereka berdua semasa hidup telah mengikat janji untuk bersama dalam suka maupun duka. Mereka berikrar untuk membuat sejarah mereka berdua dengan bersama-sama. Maka jika sekarang hanya tinggal hanya seorang karena ajal menjemput kekasih hatinya, maka ia tetap menyimpan ingatan dan kenangannya dengan sang kekasih hatinya. Tegakah kita membiarkan ayah atau ibu kita berteman dan bercakap-cakap hanya dengan sebuah kenangan, karena kita abaikan? Tegakah kita membiarkan ia berlinang air mata sedih saat mengadu kepada sebuah kenangan, karena kita tidak perhatian dan tidak bisa menjadi tempat pengaduannya? Tegakah kita menyaksikan ayah atau ibu kita berbaring di tempat tidur tanpa bisa memejamkan mata sedikitpun, sebab tidak kerasan bersama kita dan ingin segera bersama sang kekasih yang telah tiada?

Tentu saja kita tidak akan tega. Sebagai muslim dan anak sholeh dan sholehah, kita tentu tidak akan tega membalas air susu ibu dan darah ayah kita dengan derita batin di ujung hayatnya. Cobalah kita perhatikan, sehatnya badan telah terkalahkan oleh usia. Tenaganya telah terkuras setelah sekian lama berjuang menahan tempaan beban hidup di dunia. Nafasnya menjadi sangat pendek bahkan sering tersengal-sengal --meski baru berjalan beberapa langkah-- sebab tidak mampu lagi berlomba dengan waktu. Otot tubuh semakin memendek dan menciut sebab kuatnya gesekan cuaca. Langkahnya tertatih-tatih sebab tulang-tulang telah keropos dan tidak mampu lagi menerima asupan nutrisi dan vitamin. Pandangan mata telah menjadi sangat pendek dan samar, sehingga kaki sering tersandung, kepala sering tertatap tembok. Bahkan ketika rindu ingin melihat wajah kita dan wajah anak kita –cucu-cucu yang tentu sangat mereka kasihi-- tidak jarang mereka harus kerahkan semangat dan tenaga yang semakin melemah hanya untuk mengangkat tangan dan meraba wajah kita dan anak kita, agar wajah anak dan cucu tercintanya tidak hilang dari ingatannya yang semakin kabur.

Kondisi mereka yang dulu tangkas dan gesit, kini telah renta dan tertimpa kepikunan, seiring bertambahnya usia. Hal ini menjadikan banyak hal tidak sesuai dengan harapan, baik harapan kita ataupun harapan mereka sendiri. Mereka ingin membantu mengangkat piring misalnya, justru memecahkannya. Mereka ingin membantu membersihkan lantai, justru menambah kotor. Ingin membersihkan baju sendiri karena kita repot, justru bertambah kotornya. Dan banyak prilaku-prilaku yang berubah seiring kepikunan yang mereka alami. Mereka tidak ingin tertimpa keadaan demikian, tapi apa daya mereka terhadap efek berjalannya usia yang tidak mau berhenti? Jika dulu mereka yang memaklumi kekhilafan-kekhilafan kita, apakah kita tidak mau bijaksana memaklumi mereka? Jika mereka memecahkan piring yang terjatuh dari tangannya tanpa sengaja, apakah kita akan menghitungnya sebagai sebuah kesalahan? Apakah jika mereka menghabiskan air bak mandi karena bergembira bermain air, kita akan katakan sebagai hal yang keterlaluan? Lalu apakah mereka tidak berhak mendapatkan rasa maklum kita sebab kita yang kini menanggung biaya hidup mereka? Na’udzu billahi min dzalik.

الله أكبر - الله أكبر - الله أكبر و للهِ الْحَــمْدُ

Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …

Mereka –anak-anak kita, suami atau istri kita, ayah ibu kita-- adalah orang-orang yang kita sayangi dan kita cintai. Mereka adalah orang-orang terdekat dalam kehidupan kita, maka merekalah sosok-sosok yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dan sikap santun kita. Merekalah yang paling berhak untuk kita muliakan. Merekalah yang paling berhak untuk kita dampingi sepanjang hidup dengan seluruh kemampuan kita. Maka sudah seharusnya kita berusaha mencari cara terbaik untuk mengungkapkan rasa cinta dan sayang kita dengan sebaik-baik cara, sesuai dengan harapan dan dambaaan mereka. Jika mereka pernah mempunyai kekhilafan, demikian juga kita yang tentu tidak luput dari noda. Atau barangkali justru kitalah yang lebih berdosa dari mereka.

Ayah atau Ibu kita sebab telah lanjut usia, tanpa sengaja melakukan kesalahan. Dan ketika mereka menyadarinya, terlihat ekspresi rasa bersalah pada mereka. Tidak jarang tanpa menghiraukan usia yang jauh lebih tua, mereka seringkali mengalah dan tanpa segan meminta ikhlash atas kekurangan mereka. Pada kenyataannya, seringkali kita justru merasa sulit untuk memaafkan sebab selalu teringat kekhilafan-kekhilafan mereka. Jangankan meminta maaf, memaafkan-pun terasa berat dan sulit. Padahal Nabi Muhammad SAW telah bersabda :

«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ. وَمَا زَادَ اللّهُ عَبْداً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا. وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللّهُ».
Harta tidak akan berkurang karena sedekah, dan Allah tidak akan menambahkan kepada hamba-Nya yang pemaaf kecuali kemuliaan. Dan tidak seorang pun yang merendahkan dirinya untuk Allah kecuali Allah akan memuliakannya. (HR. Muslim)
Memang memaafkan lebih terasa berat sebab kita yang merasa terdholimi atau tersakiti. Sedangkan meminta maaf dinilai lebih ringan sebab kita yang mendzolimi atau menyakiti, bukan pada posisi yang dirugikan. Alloh SWT akan membuka banyak sekali pintu-pintu kemuliaan dan keberkahan bagi siapa saja yang mau memaafkan kasalahan saudaranya, terlebih kesalahan ayah dan ibunya yang termakan penyakit pikun dan renta. Senyum selalu akan mewarnai hidup mereka dan tentu saja hidup kita juga. Senyum kita adalah senyum mereka dan senyum mereka juga senyum kita. Senyum dari hati yang paling dalam. Senyum yang bisa menciptakan harapan hidup panjang yang berbahagia. Senyum yang dapat memberikan keyakinan akan kebahagiaan setelah kematian menjemput. Senyum yang mampu menjadi oleh-oleh bagi kita dan mereka ketika rumah telah berganti kubur, ketika kasur telah berganti dengan sebuah lubang yang berlumpur.

الله أكبر - الله أكبر - الله أكبر و للهِ الْحَــمْدُ

Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …

Marilah kita belajar rendah hati. Sebab rendah hati atau tawadhu’ merupakan amalan hati yang terpuji dan mulia yang dapat membimbing gengsi kita, mengarahkan egoism kita agar tidak merasa berat untuk memaafkan kekhilafan orang lain dan meminta maaf kepada suami atau istri kita, anak-anak kita, orang tua kita dan kepada sahabat-sahabat yang selama ini bersama kita. Rendah hati akan menghilangkan kesombongan diri yang sadar atau tanpa sadar dengannya kita meremehkan orang-orang di sekitar kita. Rendah hati akan menghilangkan ketakabburan kita yang tanpa sadar dengannya kita enggan menerima hal-hal yang kita tahu adalah benar.

Rendah hati akan menambah nilai ibadah kita, sebab rendah hati akan membimbing kepada keikhlasan dalam beramal. Kualitas amal akan tetap terjaga sebab dengan rendah hati kita tidak akan mengungkit amal baik yang kita lakukan dan tidak menggunjing amal buruk orang lain. Rendah hati akan menjadikan kita merasa hina di hadapan Alloh sehingga kualitas ibadah selalu kita tingkatkan. Rendah hati akan memunculkan rasa hangat dalam berhubungan dengan sekitar kita, sebab setiap orang menyukai orang yang rendah hati. Rendah hati akan menimbulkan rasa lapang dada ketika melihat celaan orang lain, sekaligus dengan mudah dapat memaafkan. Rendah hati menjadikan kita lembut akhlaq dan halus tutur kata, meski dicela oleh orang lain. Dan dengan rendah hati, celaan akan berubah menjadi sanjungan dan rasa hormat dari orang lain, tanpa ketakabburan dan kesombongan.

وَعِبَادُ الرَّحْمَـنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأَرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الجَاهِلُونَ قَالُواْ سَلاَماً
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan (Q, s. al-Furqān /25:63)
Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …

Sebagai penutup khutbah ini, dengan memanfaatkan saat yang mulia ini, --disertai dengan kerendahan hati -- marilah kita buat sejarah baru dalam diri kita masing-masing. Marilah kita rubah pola fikir kita yang egois, untuk mengucapkan kata maaf kepada anak-anak kita, suami atau istri kita, ayah dan ibu kita, serta rekan-rekan kita sesama muslim. Untuk meminta keikhlasan atas setiap khilaf yang kita perbuat. Marilah kita buka hati untuk menerima permintaan maaf anak-anak kita, suami atau istri kita, orang tua kita dan teman-teman kita. Marilah kita buka tangan-tangan kita untuk ber-mushofahah atau saling berjabat tangan. Semoga Alloh mengucurkan rahmat-Nya seiring mengucurnya dosa-dosa kita dari ujung jari-jemari kita semua.

Semoga Allah mengampuni dosa dan noda kita seiring kata maaf yang kita terima dari orang-orang terdekat dan sahabat-sahabat kita. Semoga mulai hari ini, senyum akan senantiasa menghiasi bibir kita dari hati yang paling dalam, dimanapun kita, bersama siapapun kita. Allah Robbul ‘Aalamiin berfirman:

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An Nuur, 24:22)
جَعَلَنَا اللهُ وَ إِيَّاكُمْ مِنَ الْعَآئِدِيْنَ الْفَآئِزِيْنَ الْآمِنِيْنَ , وَ أَدْخَلَنَا وَ إيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ الْمُتَّـقِيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ الْمُوْقِنِيْنَ . وَ قُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَ ارْحَمْ وَ أَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ .

KHUTBAH II

الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر - الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر - الله أكبر كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَ سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَ أَصِيْلًا . الْحَمْدُ للهِ الْعَلِيْمِ الْحَلِيْمِ الْغَفَّارِ الْعَظِيْمِ الْقَهَّارِ الَّذِى لَاتَخْفَى مَعْرِفَتُهُ عَلَى مَنْ نَظَرَ فِى بَدَآئَعِ مَمْلَكَتِهِ بِـعَيْنِ الْإِعْتِبَار . وَأَشْهَدُ أَنْ لَاإِلـهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةَ مَنْ شَهِدَ بِهَا يَفُوْزُ فِى دَارِ الْقَرَارِ , وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الطَّاهِرِيْنَ الْأَخْيَارِ . أَمَّا بَعْدُ : فَـيَآ أَيُّهَا النَّاسُ , اِتَّقُوْا اللهَ وَ أَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَ أُولِى الْأَمْرِ مِنْكُمْ , وَ أَنِيْبُوْا إِلَى رَبِّكُمْ وَ أَسْلِمُوْا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُوْنَ . إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا . اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ التَّابِعِيْنَ وَ ارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . اللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ وَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَ الْأَمْوَاتِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ . اللهم يَا مُيَسِّرَ كُلِّ عَسِيْرٍ , وَ يَا جَابِرَ كُلِّ كَسِيْرٍ , وَ يَا صَاحِبَ كُلِّ فَرِيْدٍ , وَ يَا مُغْنِيَ كُلِّ فَقِيْرٍ , وَ يَا مُقَوِّيَ كُلِّ ضَعِيْفٍ , وَ يَا مَأْمَنَ كُلِّ مُخِيْفٍ , يَسِّرْ كُلَّ عَسِيْرٍ , فَتَيْسِيْرُ الْعَسِيْرِ عَلَيْكَ يَسِيْرٌ , اللهم يَا مَنْ لَا يَحْتَاجُ إِلَى الْبَيَانِ وَالتَّفْسِيْرِ , حاجَاتُنَا إِلِيْكَ كَثِيْرٌ , وَأَنْتَ عَالِمٌ وَّبَصِيْرٌ .اللهم إِنَّا نَخَافُ مِنْكَ وَنَخَافُ مِمَّنْ يَخَافُ مِنْكَ وَنَخَافُ مِمَّنْ لَا يَخَافُ مِنْكَ , اللهم بِحَقِّ مَنْ يَخَافُ مِنْكَ , نَجِّنَا مِمَّنْ لَا يَخَافُ مِنْكَ , بِحَقِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أُحْرُسْنَا بِـعَيْنِكَ الَّتِى لَا تَنَامُ , وَاكْنُفْنَا بِـكَفَنِكَ الَّذِى لَا يُرَامُ , وَارْحَمْنَا بِقُدْرَتِكَ عَلَيْنَا فَلَا تُهْلِكْنَا , وَأَنْتَ رَجَآءُنَا , بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . اللهم أَعِنَّا عَلَى دِيْنِنَا بِالدُّنْيَا , وَعَلَى الدُّنْيَا بِالتَّقْوَى , وَعَلَى التَقْوَى بِالْعَمَلِ , وَعَلَى الْعَمَلِ بِالتَّوْفِيْقِ , وَعَلَى جَمِيْعِ ذلِكَ بِـلُطْفِكَ الْمُفِضِى إِلَى رِضَاكَ الْمُنْهِى إِلَى جَنَّتِكَ الْمَصْحُوْبِ ذلِكَ بِالنَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ , يَا اللهُ ... يَا اللهُ ... يَا اللهُ ... يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِيْنَ يَا رَحْمنُ يَا رَحِيْمُ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ يَا ذَا الْمَوَاهِبِ الْعِظَامِ ... نَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلـهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ . اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ التَّوْفِيْقَ لِـمَحَبَّتِكَ مِنَ الْأَعْمَالِ , وَصِدْقَ التَّوَكُّلِ عَلَيْكَ , وَحُسْنَ الظَّنِّ بِكَ , وَالْغُنْيَةَ عَمَّنْ سِوَاكَ , وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ .

0 komentar:

Post a Comment

 
Top